Saturday, June 30, 2007

KASUS ETIKA ISLAM

KASUS ETIKA ISLAM
SOAL UNDIAN BERHADIAH : KEBIJAKAN MENSOS DINILAI NEKAD


ANALISIS KASUS DAN RUMUSAN KONSEP SILOGISME MORAL

Dalam “Soal Undian berhadiah : Kebijakan Mensos Dinilai Nekad” terdapat dua masalah utama, yaitu :

- Undian berhadiah di arena olah raga yang dilegalkan Mensos
Para praktisi olah raga menyatakan bahwa undian berhadiah di arena olah raga dilakukan dengan dalih prestasi olah raga tak akan maju tanpa didukung dana yang cukup.
Kebutuhan dana pembinaan olah raga nasional paling sedikit Rp. 100 milyar dalam satu tahun. Tetapi dana sebesar itu dibebankan kepada masyarakat dengan cara menjual mimpi.
Beberapa gagasan terdahulu dari Porkas, SDSB, Tapornas, Kusi Olah Rga, Damura, dan yang terakhir Undian Gratis Olah Raga Berhadiah (UGOB) yang diberikan izin oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamzah.
Penjelasan Wakil Direktur Utama PT Metropolitas Magnum Indonesia (MMI) Andi Baso, penggagas undian ini, bahwa undian ini bersifat gratis, tujuannya untuk mempromosikan pertandingan olah raga. Kata gratis ini sengaja digarisbawahi untuk membedakan dengan SDSB atau Porkas yang dulu sempat menghebohkan masyarakat.
Undian ini tidaklah benar-benar gratis, sebab dilekatkan pada tiket penonton pertandingan olah raga. Jadi, penonton masih harus membeli tiket pertandingan untuk mendapatkan undian.
Tiket-tiket tersebut diberi nomor, lalu diundi pada saat pertandingan olah raga digelar. Hadiahnya berupa barang-barang elektronik. Hal ini, kata Baso, hanya daya tarik agar masyarakat senang menonton pertandingan dengan membeli tiket yang ada doorprizenya. Dengan cara ini dapat diperoleh pendapatan Rp. 3 milyar perminggu plus tambahan Rp 2 milyar dari sponsor. Jadi totalnya Rp. 5 milyar perminggu. Dikalikan dalam satu tahun dapat dipergunakan untuk membiayai pembinaan olah raga sebesar Rp. 100 milyar. Namun pendapatan ini masih harus dibagi-bagi dengan rincian : 40% untuk hadiah, 36% biaya penyelenggaraan, 10% biaya administrasi, 4% untuk tim yang bertanding, 5% untuk PT. MMI dan sisanya 5% untuk KONI Pusat (Hidayatullah, April 2004).

- Penilaian yang berbeda karena persepsi yang berbeda

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
MUI lewat salah satu ketuanya Amidhan, berpendapat undian gratis berhadiah ini masuk kategori judi, dengan alasan :
Pertama, terdapat unsure maisyir (untung-untungan) dalam program ini. Sebab hadiah yang diberikan kepada pembeli yang beruntungtidak terikat dengan prestasi atau kesungguhan berusaha. Tapi hanya karena kecocokan angka, huruf, atau karena factor kebetulan lainnya.
Kedua, mengandung unsur aghra (memberi iming-iming atau daya tarik luar biasa). Sebab, pembeli tiket walupun tidak menebak nomor, tetapi berharap mendapat untung. Bahkan, sekalipun tidak menonton pertandingan, pembeli tetap berharap mendapat hadiah. Maka ini menjadi daya tariknya, bukan pertandingan itu sendiri.

Pendapat Menteri Sosial
Bachtiar Chamzah memberi izin undian pada tanggal 16 Desember 2003 dengan alasan undian ini tidak sama dengan lotre, tidak ada unsur menebak angka atau hasil pertandingan dan hadiahnya pun tidak berujud uang tetapi barang-barang elektronik.

Silogisme moral terhadap masalah diatas sebagai berikut.

Pernyataan Fakta Standar Moral Pertimbangan Moral
Undian berhadiah di arena olah raga Menteri Sosial ingin menghimpun dana untuk kepentingan olah raga Memberi izin penyelenggaraan undian berhadiah
Undian berhadiah di arena olah raga Istadjib AS berpendapat bahwa undian berhadaih tersebut mengandung unsur judi, karena para pembeli tiket memiliki tujuan untuk mendapatkan hadiah Mensos harus mencabut izin penyelenggaraan undian berhadiah tersebut.
Undian berhadiah di arena olah raga Zuber Syafawi berpendapat undian berhadiah tersebut akan menimbulkan ekses negatif di kalangan masyarakat Mensos harus membatalkan kebijakan tersebut


PEMERINTAH YANG BERPERAN SEBAGAI REGULATOR DAPAT MENETAPKAN NORMATIF LEGAL YANG BERTENTANGAN DENGAN NORMATIF MORAL YANG DIPRESENTASIKAN OLEH FATWA MUI.

Adanya dualistik kemasan nilai

Pada mulanya segala hal dalam masyarakat diputuskan dengan standar moral yang diterima masyarakat, kelompok atau perorangan. Norma moral ini merupakan hukum tak tertulis, namun karena mangandung nilai-nilai yang baik dan yang buruk, norma ini manjadi hukum tak tertulis dalam hati anggota masyarakat sehingga mengikat masyarakat dari dalam dirinya sendiri. Normatif moral ini, dalam masyarakat Indonesia khususnya masyarakat melayu, banyak dipengaruhi oleh norma-norma dan ajaran Islam sebagai suatu hal yang diterima masyarakat yang dijadikan salah satu standar moral disamping aturan adat dan keduanya menjadi nilai yang berorientasi pada masyarakat dengan filosofi keadilan. Maka dalam dinamikanya, corak Islam mewarnai normatif moral rakyat Indonesia.

Dalam pembentukan negara, secara langsung kelompok-kelompok masyarakat tersebut tergabung dalam satu wadah negara. Pemerintah yang merupakan representasi dari bagian kelompok-kelompok tersebut. Terdapat suatu kebutuhan atau tuntutan keberlakuan norma yang berkembang dalam masyarakat secara tegas demi keselamatan dan kesejahteraan kehidupan manusia dalam masyarakat. Wujud dari tuntutan itu adalah normatif hukum yang sifatnya lebih tegas dan pasti, serta ada sanksi hukumannya bila melanggar norma hukum dan dikodifikasikan dalam bentuk aturan tertulis. Pelaksanaan norma hukum dapat dipaksakan. Dari sudut pandang hukum maka hukum menuntut perbuatan manusia dilakukan secara lahiriah. Artinya, hukum tidak menghiraukan sikap batin manusia, sejauh sikap batin itu tidak menghalangi perbuatan menghalangi perbuatan lahiriah dalam pelaksanaan hukum. Sifat dan karasteristik ini sangat mempengaruhi materi hukum yang dituliskan dalam suatu produk hukum.

Pada awalnya berdirinya negara, para pemimpin Negara berusaha menetapkan suatu normatif legal sesuai dengan normatif moral yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini nampak sekali dalam Pembukaan UUD 45, teks Pancasila (asli), atau dalamteks proklamasi (asli), yang mewakili normatif moral dalam normatif legal pada bangsa Indonesia yang mayoritas Islam.

Perkembangan selanjutnya, pemerintah dalam memposisikan dirinya sebagai regulator tidak menetapkan normatif legal pada normatif moral yang berkembang dalam masyarakat. Sifat hukum yang tidak menghiraukan sikap batin manusia menjadi titik awal pergeseran antara titik moral dan hukum. Terdapat banyak kepentingan dalam perumusan normatif hukum, karena sesungguhnya pemerintah merupakan suatu badan yang bertujuan mengakomodasi berbagai kepentingan. Maka agar berbagai kepentingan dapat diterima oleh semua masyarakat harus diatur dalam suatu peraturan yang mengikat sesuai kepentingan-kepentingan yang terdapat dalam masyarakat.
Ternyata dalam perkembangannya, peraturan hukum ini semakin jauh dengan normatif moral yang berkembang dalam masyarakat.

Beberapa orang Islam sendiri pun berusaha memisahkan moral dan ajaran agama dengan argumen yang “meyakinkan” demi melaksanakan kepentingan bisnisnya. Pengusaha Fanny Habibie yang jelas seorang muslim memiliki peternakan babi; Gubernur Sutiyoso berusaha memberikan ide tempat perjudian khusus di Kepulauan Seribu demi pendapatan daerah; atau Bachtiar Chamzah yang melegalkan judi di arena olah raga.

Pada tingkat yang lebih rendah, berbagai peraturan yang memberikan ijin pada pendirian tempat-tempat hiburan, diskotik, prostitusi atau perjudian tanpa memikirkan efek samping yang bakal terjadi pada masyarakat sekitarnya, seolah-olah peraturan tersebut dibuat untuk melegalkan sesuatu yang bertentangan dengan normatif moral, sehingga peraturan tersebut kehilangan ruhnya dalam fungsinya sebagai pengatur kehidupan masyarakat.

Belum lagi gencarnya perijinan penerbitan surat kabar yang sangat longgar akan normatif moral, sehingga di tiap-tiap pinggir jalan di Indonesia, majalah-majalah porno adalah hal yang biasa tampak dan dapat dinikmati oleh siapapun, tak terkecuali anak-anak di bawah umur. Tidak ada kata yang lebih tepat antara segelintir orang yang melanggar normatif moral tersebut dengan para pembuat peraturan, kecuali alasan klise kebebasan pers, demi suatu kepentingan yang sudah jamak (baca : uang). Nampaknya hal ini sangat tendensius, tetapi kenyataan yang terjadi adalah demikian.

Berbagai kasus korupsi, para pelakunya dapat bebas dengan mudah karena aturan yang banyak memiliki celah untuk lolos sehingga peraturan tentang pemberantasan korupsi tersebut tidak memiliki ruh moral.

Maka yang terjadi, aturan yang seharusnya menjadi pengatur, pelindung dan pengayom semua lapisan masyarakat, hanya menjadi “pengatur, pelindung, pengayom” bagi kelompok masyarakat yang berniat menjauhkan diri dari normatif moral dan menekan sebagian masyarakat yang lain.

Terjadilah dua benturan, yaitu : antara masyarakat dengan masyarakat dan masyarakat dengan pemerintah. Masyarakat yang sadar akan normatif moral, tidak dapat menegakkannya karena hukum tidak dapat mengakomodasi dampak buruk akibat perijinan tersebut dan tetapi peraturan itu malah melindungi para pelaku kejahatan dan maksiat yang berperilaku buruk.
Masyarakat yang sudah tidak sabar dengan dampak buruk yang terjadi berusaha menegakkan kembali dengan tangan dan caranya sendiri yang seharusnya dilakukan polisi. Tetapi yang terjadi, bukan saja harus berhadapan dengan para pelaku maksiat dan kejahatan tetapi juga dengan polisi yang melindungi dan membekingi tempat-tempat kejahatan dan maksiat karena polisi terikat kontrak dengan pemilik tempat-tempat kejahatan tersebut.
Maka peraturan yang posisinya sebagai pengatur, pelindung dan pengayom adalah kata-kata kosong yang kehilangan ruhnya. Kisah heroik para penegak moral semisal FPI harus menjalani hukuman karena dianggap merusak tempat-tempat maksiat, tetapi para pelaku maksiat yang merusak moral masyarakat bebas melenggang. Inilah bukti nyata kekalahan normatif moral dengan normatif hukum.

Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum dan polisi merupakan efek dari dualistik antara kemasan moral dengan kemasan hukum.

Melegalkan kepentingan bisnis pihak-pihak tertentu

Kembali soal undian berhadiah yang dilegalkan, Bachtiar Chamzah selaku Menteri Sosial sebagai orang yang dipercaya untuk menegakkan moral bangsa, terperosok dalam pemikiran yang menyimpang untuk meminggirkan normatif moral yang dipresentasikan oleh fatwa MUI demi kepentingan segelintir orang. Pengesahan ini menimbulkan berbagai efek buruk yang berantai. Jadilah kita sebagai warga negara yang diajari oleh pemerintahnya untuk berperilaku buruk karena pemisahan moral dengan hukum.
Pertanyaan mengapa pemerintah yang berperan sebagai regulator dapat menetapkan normative legal yang bertentangan dengan normatif moral yang dipresentasikan oleh fatwa MUI, adalah semata-mata karena pemerintah yang terdiri dari para pembuat keputusan terlibat suatu kepentingan dari oknum yang ingin melegalkan perbuatan buruk dan maksiat. Mereka menjadi tidak memikirkan akibat dari keputusan itu, kecuali kepentingan itu sendiri. Sehingga mereka tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menghentikan perilaku buruk akibat keputusan yang dibuat tersebut.

Menutup uraian ini, dapat disimpulkan bahwa dualistik antara kemasan nilai-nilai moral dengan kemasan hukum, ternyata sama sekali tidak membawa kebaikan melainkan benturan antar masayarakat dan pemerintah, dan ini secepatnya harus diakhiri.


PERANAN PEMERINTAH DALAM PRAKTIK REGULASI, KELEMAHAN-KELEMAHAN NORMATIF LEGAL DALAM PENGATURAN BISNIS, DAN SOLUSI TERHADAP KELEMAHAN TERSEBUT.


TIGA ASPEK DALAM PRAKTEK REGULASI

Peranan pemerintah dalam praktek regulasi dapat dianalisa setidaknya dari tiga aspek, yaitu :
1. aspek perencana deregulasi
2. aspek objek deregulasi
3. aspek waktu pemerintahan

Aspek perencana deregulasi. Yang dimaksudkan disini adalah orang-orang yang terlibat langsung dalam penyusunan peraturan hukum, dimana mereka sangat menentukan isi, sifat dan karasteristik dari produk hukum yang dihasilkan. Maka, faktor-faktor seperti : keyakinan agama, kapasitas dan kapabilitas, pendidikan, keterikatan dalam hubungan partai, lingkungan kerja, bisnis, organisasi atau perkumpulan bahkan pertemanan atau pergaulan sangat menentukan kualitas produk hukum yang dihasilkan. Mereka adalah orang-orang yang duduk dalam pemerintah dan legislatif.
Distribusi anggota DPR/DPRD hingga pemilu 2004 masih didominasi oleh partai Golkar dan PDI hampir di seluruh Indonesia. Distribusi ini sangat mempengaruhi produk hukum yang mereka buat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka yang berasal dari PDI dalam prosentase tertentu adalah orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah, di bawah SMA, sehingga wawasan yang dimilikipun relatif rendah. Lain halnya dengan mereka yang berasal dari Partai Golkar yang dari segi pendidikan dan wawasan relatif lebih tinggi. Ini pun tidak menjamin produk hukum yang dihasilkan akan menjangkau urusan moral yang ada dalam masyarakat. Secara historis mereka cenderung terbiasa melakukan KKN dalam segala bidang, termasuk dalam bidang hukum.

Pemilu 2004 ini juga diisi oleh orang-orang yang dianggap mempunyai komitmen tinggi, seperti mereka yang berasal dari PKS, PKB atau PAN, yang secara kepartaian mereka sudah disumpah untuk berjalan lurus sesuai amanat rakyat dan partai. Namun ini pun belum akan menjamin, karena mereka relative belum teruji dalam jalannya pemerintahan maupun legisatif. Dan kita kan menunggu kiprah mereka dalam pemerintahan selanjutnya.

Aspek objek deregulasi adalah hal pokok yang diatur dalam produk hukum yang dihasilkan. Untuk kepentingan analisa ini, penulis membagi objek yang diatur dalam deregulasi tersebut dalam 2 (dua) kepentingan :

- kepentingan kecil / umum
Kepentingan kecil atau umum dinyatakan sebagai hal yang menyangkut kepentingan rakyat kecil, seperti : pasar, ruang untuk berusaha atau lahan tempat tinggal.
Produk hukum yang dihasilkan atas kepentingan ini cenderung mengalahkan hal-hal seperti : kesempatan berusaha bagi rakyat kecil, kesempatan untuk mengusahakan dan menjamin kehidupan rakyat, atau kesempatan mendapatkan tempat tinggal. Maka yang sering terjadi adalah kasus pengusiran, penggusuran dan pembongkaran atas nama kenyamanan, keindahan dan hukum; dan melupakan pertanyaan seperti : apa penyebab terjadinya penggusuran tersebut, apakah orang yang menempati tanah dan tinggal bertahun-tahun di atasnya adalah tanah milik negara atau milik personal, PKL atau nagkringan di lahan siapa dia berada, apa efek buruk dari tindakan tersebut.
Maka produk hukum yang dihasilkan adalah cacat dalam arti tidak memberikan penyelesaian adil dan diterima rakyat.

- Kepentingan besar / khusus
Kepentingan ini menyangkut kepentingan modal dan kewenangan yang lebih besar, dan cenderung memberikan imbalan materi dari perijinan atau legalitas kepentingan tersebut, seperti : perijinan tempat-tempat hiburan, pengusahaan hutan, pertambangan, pembangunan jalan tol, atau pembangunan jaringan.
Terhadap kepentingan ini, para pembuat keputusan sangat respek tentu dengan dalih yang sangat idealis dalam memberikan legalitas hukum.
Maka saat efek buruk dari perijinan mulai timbul dan merugikan masyarakat, mereka terkesan tidak dapat berbuat banyak untuk mencegahnya, bahkan berusaha melapisinya dengan legalitas lain untuk melindungi dirinya dari tuntutan masyarakat, tanpa sedikitpun merasa bersalah.

Dari kedua objek deregulasi tersebut nampak adanya dualisme dalam menetapkan suatu legalitas semata karena suatu kepentingan yang hasilnya mengokohkan sifat hukum itu sendiri yaitu mengabaikan sikap batin dan moral yang dimiliki masyarakat.

Aspek waktu pemerintahan. Aspek ini menyangkut kurun dimana para pengambil keputusan berada dalam suatu era pemerintahan dengan sistem kerja pemerintahan yang sangat dipengaruhi oleh penguasa era tersebut.
Pemerintahan orde baru mempunyai kecenderungan untuk mengokohkan kekuasaan dan kekayaan pribadi. Maka, system kerja yang dibangun dilakukan untuk menunjang kedua hal tersebut. Sehingga, orang-orang baik sekalipun tidak cenderung hanya ikut arus, dan tidak dapat merubah supaya system kerja yang dilakukan menjadi baik.


BERBAGAI KELEMAHAN

Ketiga aspek diatas kiranya cukup menggambarkan bagaimana pemerintah sebagai suatu lembaga harus dapat mengambil keputusan yang terbaik dalam deregulasi, dan kenyataannya, berjalan diatas landasan hukum dan moral adalah satu hal yang sangat sulit dilakukan pemerintah. Distulah letak kelemahan pemerintah.
Maka kelemahan-kelemahan deregulasi / pengaturan bisnis dalam segala bidang pemerintahan, termasuk bisnis undian berhadiah, adalah :
1. Kelemahan prinsip yaitu produk hukum yang dihasilkan tidak menghiraukan nilai moral yang berkembang dalam masyarakat dalam penyusunannya dan tidak mengakomodasi secara menyeluruh efek samping kerusakan moral yang bakal terjadi.
2. Kelemahan materi yaitu produk hukum yang dihasilkan masih terdapat celah yang dapat dipergunakan untuk lolos dari jeratan hukum, dan tidak memberikan efek jera pada penyimpangan pada pelaksanaan perijinan yang diberikan.
3. Kelemahan perencana/penyusun/pembuat keputusan yaitu orang-orang yang terlibat langsung dalam penyusunan peraturan hukum, dimana mereka sangat menentukan isi, sifat dan karasteristik dari produk hukum yang dihasilkan. Kelemahan ini seperti diuraikan dalam ketiga aspek diatas sangat mempengaruhi produk hukum yang dihasilkan.
4. Kelemahan kelembagaan yaitu kurangnya kesamaan persepsi dan koordinasi, baik antar polres, maupun antara polres dengan polda dalam menangani masalah yang timbul.
5. Kelemahan dalam pelaksanaan yaitu dalam pelaksanaan di tengah masyarakat, masih banyak dijumpai para penegak hukum terlibat langsung dalam kejahatan, atau melindungi dan membekingi tempat-tempat kejahatan. Kelemahan ini terutama disebabkan kurangnya penghargaan dari pemerintah dalam hal gaji yang kurang memadai, sehingga mereka cenderung berbuat demikian untuk memperoleh penghasilan di luar. Selain itu, penegakan hukum ini secara langsung polisi berada dalam posisi yang dilematis harus berhadapan dengan orang-orang yang notabene adalah saudara atau orang-orang yang sudah mereka kenal dengan baik.
6. Kelemahan dilematis. Penerapan hukum harus berhadapan dengan masalah utama, yaitu lapangan pekerjaan, terutama dalam hal pemberantasan perjudian. Pada kasus ini, data di kota Semarang menunjukkan terdapat 5000 pengecer togel yang terhimpun dalam organisasinya. Dalam sehari minimal seorang pengecer togel mampu mendapatkan fee 30 hingga 40 ribu rupiah. Jika dikalikan 5000 orang, berarti mereka mampu mendapatkan dana 150 -200 juta rupiah semalam. Kalau pekerjaan mereka ditutup apakah pemerintah mampu memberikan mereka penghasilan yang serupa dengan itu dalam semalam.


SOLUSI-SOLUSI

Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, solusi yang tepat untuk mengatasinya, menurut penulis, dibagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu :
1. Solusi dalam penyusunan produk hukum dan sikap tegas pemerintah
2. Solusi dalam pelaksanaan di tengah masyarakat
3. Solusi untuk mengatasi implikasi akibat pemberian ijin yang menyimpang


Solusi dalam penyusunan produk hukum dan sikap tegas pemerintah

a. Disamping norma hukum sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan, diperlukan norma moral, yang secara materi aturan-aturan moral tersebut harus pula tercakup dalam pasal-pasal hukum tersebut. Alasannya adalah hukum secara keseluruhan yang berlaku positif adalah produk manusia itu sendiri. Dan sesuai dengan sifat hakiki manusia yang tidak sempurna dantidak lepas dari perbuatan salah, maka hukum sebagai produk manusia tidak pernah lengkap dan sempurna. Norma moral sebagai tolok ukur menentukan betul salahnya perbuatan manusia dilihat dari segi baik buruknya manusia. Dalam norma moral perbuatan manusia dinilai bukan hanya dari segi apa yang biasa dilakukan orang atau sekelompok orang tetapi juga mengenai apa yang menjadi pendirian dan pemikiran seseorang mengenai apa yang baik, dan apa yang tidak baik, apa yang patut dan apa yang yang tidak patut dilakukan seseorang. Oleh karena itu baik normative hukum maupun normative moral harus saling melengkapi dan merupakan landasan yang tepat digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
b. Pemerintah itu sendiri harus tunduk kepada aturan hukum yang berlaku. Ini berarti bahwa setiap penyelenggaraan Negara harus memberikan teladan yang baik dalam mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepatuhan terhadap aturan permainan yang ditetapkan oleh pemerintah akan menjamin kepastian hukum dan hanya dengan adanya kepastian hukum dapat dijamin penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
c. Pemerintah harus berfungsi sebagai wasit dan penjaga aturan hukum yang ada agar kepentingan bersama seluruh anggota masyarakat dapat terjamin. Ini berarti bahwa pemerintah harus bertindak adil dan netral, memperlakukan semua orang secara sama dihadapan hukum dan berdasarkan hukum yang berlaku.
d. Memperbaiki peraturan-peraturan sehingga lebih komprehensif memasukkan unsur-unsur moral ke dalam aturan hukum, dan memperberat sanksi hukum yang dikenai.
e. Setiap daerah segera merealisasikan peraturan daerah judi.

Solusi dalam pelaksanaan di tengah masyarakat

a. Komitmen dari para kapolda hingga aparat paling bawah untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari penyakit masyarakat. Ketegasan aparat kepolisian ini hendaknya benar-benar tegas, sehingga implementasinya benar-benar efektif dan mampu menjerakan para pelaku.
b. Menghentikan kegiatan polisi melindungi dan membekengi tempat-tempat perjudian dan tempat-tempat maksiat. Para penegak hukum sekarang ini menjadi bagian dari permasalahan itu sendiri, sehingga mereka sulit untuk bisa menyelesaikan masalah dan berbagai demoralisasi yang terjadi di masyarakat. Hal ini harus ditunjang dengan pemberian gaji yang memadai dan penghargaan, serta hukuman yang tegas disertai pembelaan hukum terhadap para penegak hukum itu sendiri.

Solusi untuk mangatasi implikasi akibat pemberian ijin yang menyimpang

Beberapa solusi yang dapat diberikan dalam masalah diatas adalah :
a. mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi sehingga ada usaha ekonomi
Contoh : Jawa Tengah akan melaksanakan pembangunan jalan tol Semarang-Surakarta tahun 2005 mendatang. Melalui usaha ini, akan dibutuhkan tenaga kerja yang diharapkan ada yang bekerja di bidang tersebut.

b. Membangun semangat kewirausahaan pada diri masing-masing sambil menunggu berkembangnya kesempatan kerja, diharapkan mereka dapat mengembangkan kegiatan yang lebih produktif.
c. mengontrol pemberitaan
Pemberitaan dalam surat kabar atau televisi lebih memberikan pengaruh buruk daripada pengaruh baik. Pengaruh buruk ini ditunjang dengan pengaturan bisnis yang cenderung mangabaikan norma moral, sehingga secara langsung mendidik dan memberi contoh kepada masyarakat untuk melakukan tindak kejahatan.
Maka bagi pemerintahselain memperkuat nilai-nilai pemberitaan juga memperketat materi pemberitaan.



BAGAIMANA KASUS ITU DAPAT DIJELASKAN DENGAN KONSEP ETIKA BISNIS ISLAM.

Dalam “Konsep Bisnis Dalam Al-Qur’an” Dr. Mustaq Ahmad, hal. 53 dikatakan bahwa manusia harus bekerja bukan hanya untuk meraih sukses di dunia namun juga di akherat, yang dengan bekerja itu membawa pengaruh yang besar pada diri seseorang, baik efek positif maupun efek negatif.

Suatu kegiatan bisnis sudah barang tentu menginginkan hasil yang baik atau keuntungan, yang diharapkan berlaku sepanjang masa, dan tidak mengharapkan kebangkrutan atau kerugian. Atau dengan suatu skala perhitungan bahwa adanya keuntungan-keuntungan yang didapat dalam bisnis harus dapat mengganti atau melampaui setiap kerugian yang diderita. Demikian inilah hidup diibaratkan.

Maka yang membedakan bisnis satu dengan yang lainnya adalah perilaku-perilaku dalam bisnis. Beberapa penilaian manusia , dengan akalnya, menentukan sah tidaknya perilaku bisnis. Padahal Allah SWT melalui lidah Rasul-Nya telah menetapkan dalam Al-Qur’an ukuran perilaku bisnis yang sejatinya menguntungkan bagi pelaku bisnis, baik di dunia maupun di akherat, dan mandapat jaminan keridloan Allah SWT.

Beberapa klarifikasi prinsip-prinsip dan petunjuk Allah SWT dalam Al-Qur’an yang menyangkut perilaku bisnis yang sah adalah :

a. Kebebasan dalam usaha ekonomi
- Al-Qur’an memberikan kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi dengan batas-batas yang ditentukan syariah
- Legalitas dagang yang merupakan pengakuan dan penegasan atas hak eksklusif seseorang untuk mengambil keputusan yang penting yang berhubungan dengan penggunaan harta bendanya.
- Adanya persetujuan yang saling menguntungkan. Kesepakatan ini memberi manfaat : menghindari semua bentuk paksaan, membebaskan dari penipuan, dan bersih dari kedustaan.

b. adanya keadilan/persamaan, yaitu :
- janji, kesepakatan dan kontrak hendaknya dipenuhi
- jujur dan transparan dalam hal timbangan, ukuran, spesifikasi, kadaluwarsa, dan informasi lainnya.
- Pembayaran dilakukan seperti yang telah diperjanjikan sesuai waktu dan jumlah
- Jujur, tulus hati dan benar yang akan menutup ruang penipuan dan kebohongan.
- Efisiensi, kompetensi dan profesional yang akan menghasilkan peningkatan kualitas

Perjudian dalam berbagai bentuknya, dari sisi aqidah tidak memberikan keuntungan dunia maupun akherat, dimana keuntungan yang didapat tidak dapat menggantikan kerugian yang akan didapat kemudian. Maka, perjudian nyata-nyata bertentangan dengan etika bisnis Islam, yaitu :

A. Pentingnya kerja

1. Islam mewajibkan manusia untuk bekerja. Pentingnya kerja karena merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orang sesuai dengan kapasitas dan kemampuan diri, dan mengangkat kerja kedalam level kewajiban religius yang digandengkan dengan iman. Perjudian sebagai pekerjaan mimpi yang cenderung melakukan kemalasan dan berpangku tangan sehingga tidak produktif sangat bertentangan dengan kewajiban dan pentingnya bekerja. Maka Islam sangat mencela berbagai bentuk perjudian.
2. Kerja merupakan satu-satunya penentu status manusia. Kerja adalah sumber nilai yang riil. Jika seseorang tidak memiliki kerja maka dia tidak akan berguna dan tidak memiliki nilai. Dalam Al-Qur’an kerja dan amal adalah hal yang menentukan posisi dan status seseorang dalam kehidupan (Al-Ahqof:19). Sedangkan judi yang hanya berangan-angan mendapatkan uang tanpa kerja produktif, menjadikan manusia tidak memiliki nilai, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah.

B. Judi merupakan salah satu bisnis yang dilarang dalam Islam

Dr. Mustaq Ahmad mengatakan dalam bukunya “Etika Bisnis Dalam Islam”, bahwa Allah membangun konsep halal dan haram dengan penegasan bahwa bisnis dihalalkan dan riba diharamkan. Dengan batasan tersebut maka segala bentuk praktek-praktek jahat dan kecurangan dengan transaksi harta benda dan kekayaan dilarang.
Dilanjutkan dalam uraiannya, bahwa bukan saja mengharuskan tujuan yang mesti benar, tetapi sarana untuk mencapai tujuan tersebut juga harus baik. Prinsip ini diikuti dengan perilaku yang diperkenankan di halalkan dalam mendapat penghasilan.
Bisnis yang tidak dibenarkan dalam Islam adalah bisnis yang tidak diperkenankan atau tidak dihalalkan. Perjudian adalah bisnis yang identik dengan mimpi-mimpi yang indah bagi pelakunya tentang nasib dan keberuntungan.
Secara umum, judi merupakan salah satu bentuk transaksi yang menimbulkan kesulitan dan masalah yang semata-mata didasarkan pada kans dan spekulasi. Dimana hak-hak semua pihak yang terlibat dalam bisnis itu tidak dijelaskan dengan seksama, yang akibatnya memungkinkan sebagian dari pihak yang terlibat bisa menarik keuntungan namun dengan merugikan pihak lain. Adanya pihak yang dirugikan ini sangat memungkinkan terjadi berbagai pertentangan, perkelahian atau hal-hal yang tidak membawa manfaat sebagai efek samping perbuatan judi. Maka judi merupakan bisnis yang didalamnya mengandung cara konsumsi yang tidak halal, atau melanggar dan merampas hak dan kekayaan orang lain.





















Kepustakaan
- Dr. Mustaq Ahmad “Etika Bisnis Dalam Islam”
- Herman Matondang dan Bachrun Siregar “Etika Birokrasi”
- Hidayatullah, Edisi April 2004 Shapar 1425
- Republika tanggal 7 Agustus 2004
- Jawa Pos tanggal 18 Mei 2004

No comments: